Puisi: Sayembara Tebu – Jamil Massa

Jamil Massa

Berkumpullah rakyat Tuwawa, yang tua,
yang muda, juga yang tak kasatmata.
Hari ini pemilihan raja. Langsung,
umum, bebas, namun tidak rahasia.
Sebab buat apa menyembunyikan sesuatu
yang kelak disingkap kulit durian dari
Hutan Sinandaha? Dua pangeran,
putra mahkota satu saja. Tebu paling manis,
tebu paling air, bakal rebah ke mana.
Si Sulung mengunyah dari ujung paling muda
Si Bungsu mengerkah dari jantung para tetua
Langit menahan napas, Si Sulung makan hingga
tuntas.
Si Bungsu berhenti, saat tebunya sisa sejari.
“Ini untukmu, ruas paling manis, paling air
paling lembut seperti embun berisi roh pagi,“
ucapnya kepada jelata kusam yang berdiri
di depan panggung sayembara.
Maka mengertilah rakyat Tuwawa, yang tua,
yang muda, juga yang tinggal di sela-sela
dedaunan rumbia. Mereka mengerti mana yang
putra mahkota, mana yang cuma anak raja.
“Bukan nafsu yang tergesa-gesa. Hati saja
keliru membaca pertanda,“ sesal Si Sulung
yang meninggalkan negeri hari itu juga
Mungkin jadi penyair, atau sekadar hendak
mengadu kepada dewa-dewa.
Si Bungsu tersungkur, negeri larut dalam gula
Gunung-gunung pun meramalkan inilah awal
keruntuhan mereka.
Gorontalo, 2014 
Sumber:  Media Indonesia, Minggu 27 Desember 2015

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.