Puisi: Segulung Ombak di dalam Samudra Biru – Mawie Ananta Jonie (l.1940)

Mawie Ananta Jonie (l. 1940)
Segulung Ombak di dalam Samudra Biru*

Sebuah Cerita Buat Anakku Pinta

1

100 tahun yang lalu, anakku, tatkala Nusantara bersuku-suku,
dia lahir dari kandungan mimpi dan kenyataan bergerak maju.

Seorang dokter berkelana dari kota ke kota,
berpropaganda meningkatkan derajat dan martabat bangsa kita.

Dengan Dana Studi, diketuknya pintu hati pemuda dan pelajar,
di Stovia cita cita ini mendapat angin panji berkibar.

2

Bulan Mei, ketika bunga musim semi mekar di pantai Barat,
di Timur Budi Utomo lahir ke pangkuan rakyat.

Anak jaman itu tumbuh membesar dengan angan angan,
untuk sebuah kemajuan di lekuk jalan dinyatakan.

Kau dengar anakku, dia bergagasan tani sampai industri,
supaya jadi kehidupan di negeri kita yang tak miskin ini.

maka dia menentang politik dan undang undang kolonial,
yang melarang kegiatan membahayakan ketertiban massal.

3

Tahun tahun merangkak naik dia mencari bumi tempat berpijak,
mempersatukan pemimpin pemimpin massa yang bergerak.

Dengan kekuatan ini anakku, mereka memperjuangkan program,
sebuah pemerintahan perlementer yang tak dibungkam.

Mereka tagih perbaikan aturan pemilihan yang ada,
persamaan hukum dan pengadilan bagi bangsa kita.

4

Anakku, dia gigih melawan perbedaan,
yang dapat mengobarkan diskriminasi antar golongan.

Bukan itu saja, Budi Utomo berbincang non-kooperasi,
tampil memberantas lintah darat bersama kaum tak berdasi.

Ikut aksi protes atas rintangan mengenai pergerakan,
protes atas pengawasan polisi dan ancaman pembuangan.

Menyokong pemogokan dan mencela tindakan penguasa,
atas penangkapan penangkapan pemimpin mereka.

5

Budi Utomo revolusioner dicap penguasa pembelok,
seorang pemimpinnya menjawab tanpa menunggu hari esok.

Waspadalah. Sekarang saatnya bagi tuan penjajah,
memberi apa yang kami inginkan tanpa tangan menadah.

Sekarang tuan penjajah masih bisa menuntun kami,
tapi berilah apa yang kami mau. Jangan tunggu lagi.

Saatnya akan tiba rakyat kehilangan kesabaran,
saat itu saat sekarang. Di mana kita berhadap-hadapan.

Diemen– Amsterdam, 18 Mei 2008

* Sajak ini telah dibacakan oleh penulisnya dalam Acara Peringatan 100 Tahun Hari Kebangkitan Nasional, hari ini tanggal 18 Mei 2008 di Diemen—Amsterdam, Negeri Belanda.

Sumber: Cerita untuk Nancy ((Ultimus, Bandung; Bekerjasama dengan Lembaga Sastra Pembebasan; Cetakan: I, September 2008)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *