Al-Fian Dippahatang (l. 1994)
Sejarah
1. Info
Mungkin ini bukan info penting,
tetapi aku percaya—separuh dalam hidup
sudah jadi sampul buku yang mesti dibuat menarik
sebelum dipajang di toko buku kapitalis.
Info ini tak ada kaitannya sama sekali
dengan kegalauanku ditinggal pacar,
meski sudah kuanggap aku mengukir sejarah
dengan tidak lebih dulu memberi sakit.
Hanya memberitahu, ada temanku yang percaya sejarah.
Disapa Aco dan bernama lengkap Muhammad Ali.
Yang ketika namanya pertama kali kudengar
biasa-biasa saja karena itu hal umum.
Tetapi, di pikiranku tertinggal sesuatu
untuk kucari latar belakangnya.
Sebab, Muhammad Ali juga nama lengkap kakekku
yang sudah kutahu sejarah lahirnya nama itu.
Aco bekerja sebagai barber.
Kakekku bekerja sebagai penggembala sapi.
Mereka memperkaya pengalaman hidupku
dan mendirikan tugu sejarah di pikiranku.
2. Tradisi Lisan
Aku mengenal Aco sekitar tahun 2012
dan pernah bertemu dengan kakekku tahun 2014
saat Aco kuajak liburan di kampung.
Aco dan kakekku suka tradisi lisan.
Aco suka mendengar orang menyuarakan mantra.
Kakekku penutur barazanji.
Pada suatu waktu oleh seorang pendiri band
berketurunan Tiongkok. Aku didaulat membaca
penggalan cerita kitab La Galigo di sebuah pementasan
yang ia garap. Saat itu, Aco memainkan bass
mengiringi suaraku. Esoknya, kuungkapkan kisah
pementasanku kepada kakekku melalui telepon.
Sebelum percakapanku berakhir, kakekku berpesan
Untuk menyampaikan mantra kepada Aco,
Kiranya bisa membuat warungnya digilai para penikmat
coto.
3. Refleksi
Dua tahun kemudian aku baru tahu, Aco ini seorang
yang memang hebat. Lincah tangannya berhasil memangkas
rambutku sesuai selera. Model jomblo masa kini
yang suka makan daging sapi.
“Memangkas rambut, memangkas separuh ingatan
yang pedih,” kataku seolah-olah filosofis
kepada Aco yang penasaran dengan kisah cintaku,
berakhir akibat chat mesra pacarku
via facebook dengan lelaki lain.
“Pedih adalah usaha mencari uang!”
Definisi yang Aco ungkapkan membuatku terkejut.
Tetapi, tak kuperlihatkan respons itu.
Belakangan kutahu, Aco anak orang kaya.
Ia mendirikan dua warung coto
yang setidaknya bisa memperkerjakan
orang pinggiran kota.
Aco seorang pekerja keras dan pribadi sederhana.
Cita-cita Aco kuanggap sangat mulia.
Ia memulai sesuatu dari satu untuk bisa main bass
dan tidak ingin santai di rumah.
Ia putuskan untuk tetap setia menjadi barber
untuk bisa melupakan jomblonya.
Alasan yang kurang masuk akal,
tetapi kuyakini, karena itu fakta
yang kulihat sendiri.
Aco serius membisikkan cita-citanya kepadaku.
Ternyata, aku punya cita-cita yang serupa
dengannya dan direstui kakekku.
Cita-cita yang memiliki sejarah
dianggap keliru oleh orang saleh
: hus, orang peragu,
bisikan kakekku datang dari jauh.
Sumber: Dapur Ajaib (BASABASI, Yogyakarta, 2017)