Inggit Putria Marga (l. 1981)
Selain Empat Burung Gereja
persetubuhan rel dan roda kereta melahirkan sekaligus mengusir debu-debu
angin sore pertengahan tahun mencampur mereka dengan udara
menyesakkan paru-paru siapa saja, namun gagal mengusik
ia yang duduk di beranda, melihat empat burung gereja hinggap
di setumpuk pecahan bata. seperti tata kota di tanjungkarang
begitulah bata-bata itu tersusun
tumpang tindih: satu menumpang, yang lain menindih
empat burung gereja hinggap di posisi berbeda
yang pertama di tumpukan tertinggi, kepala menoleh ke sana ke mari
kaki sesekali bergerak ke kanan ke kiri. sepertinya, ia jenis burung gereja
yang kurang punya ketetapan hati. agak jauh, di sebelah kanan burung yang
labil ini, burung kedua mengambil posisi, kepala lebih sering menunduk,
kepada kaki, paruh kadang mematuk. tampaknya, ada sejumlah perjalanan
yang sungguh terkutuk
yang ketiga dan keempat, hingga di pecahan bata yang paling dekat
dengan bentala. mereka berhadapan, mengangguk-anggukkan kepala
beradu ricau tanpa jeda. entah bertengkar entah bertukar cerita, keduanya
mengingatkanku pada aku dan anakku. sengit pertengkaran atau
riuh percakapan: tanda kami sedang jumpa: jiwa raga
hari kini warna kopi. empat burung gereja pergi meninggalkan tahi
di setumpuk rekahan bata. bagai rel yang diam menunggu cumbu roda kereta
lelaki itu tetap duduk di beranda. ia lihat dua lelaki berseragam dan berpentungan
melintas, menoleh sejenak padanya sambil tetap berjalan entah kemana.
sepasang suami istri menggotong kasur, malam ini entah di mana mereka tidur
satu per satu rumah di tepi rel jadi puing. tempat tinggal bagi kenangan, kini
barangkali hanya di darah, cuma di daging
di sela tidur panjangku
di bawah rengkahan bata yang tertumpuk
di depan rumah tua itu
selalu kusempatkan waktu untuk melihatnya, sekadar memastikan bahwa anakku
(setidaknya sebelum rumah kami pun berlalu) baik-baik saja
2014
Sumber: Empedu Tanah (Gramedia, 2020); Kompas, 12 Oktober 2014.