Heri Maja Kelana
Kepada Seorang Planolog
“sekali waktu, memandangmu bukan dengan mata”
pagi. tegas aku menyampaikan salam. selenting lagu
lonceng atau jerit rem, akrab di telingaku. begitu aku
memandangmu bukan dengan mata. berjalan di atas trotoar
maka akan kita rasakan sesuatu yang lain, menghadang
seperti berada dalam arsitektur yang lupa mata. segala
kenangan menjadi warna telinga, sejarah baru
sejarah yang rancang dengan tangan terbuka. seperti alinea
pidato atau narasi koran-koran, yang membuat kota ini gaib
aku tidak mengenalmu, hampir saja. barisan bangunan neoklasik
flamboyan sekali memeluk. tak ada percakapan yang berkelanjutan
padahal kita lahir dengan cara yang sama. dengar
apabila selenting lagu suara lonceng atau jerit rem tidak pernah
sampai padamu, maka akan merasakan perih hari pada titik nol
Sumber: Lambung Padi (Asasupi, Bandung; Cetakan : I, Maret 2013)