Heri Maja Kelana
Lumar: Wajah Pitaloka
pergilah ke perbatasan, kabarkan
tentang permusuhan
waktu reda, hujan lindap. ke mana kau akan berangkat
membawa syair setelah semuanya berakhir, luka-luka
disihir menjadi kenangan yang melayang-layang
bagai daun lepas entah ke mana. Pada kedalaman lumar
aku bagai manyar menebar debar, agitasi ke diri
pada tanah yang mengandung tangis pitaloka
adakah kau menerima sisi gelapku lagi, kekasih?
lorong tubuhmu telah menyisakan asmara yang ganjil
serta konde yang menjadi ujung sunyi
di mana kau sembunyikan
hujan yang lindap, api yang hilang harap
masehi berganti, bulan sakit. sesakit ujung tombak
yang ditancapkan, kemudian kau cabut dengan perlahan
di dada kiriku. wajahmu wajah waktu
memilin kisah yang terasah di pasir pasundan.
“pitaloka, di mana kau sembunyikan kuda-kuda yang berlari
seperti detak jantungku. mengejar persembunyian
sebelum lumar benar-benar padam, sebelum keranda
berada tepat di mana kau menunggu”
harapan mungkin lilin di kamar pengantin
menunggu padam. Pitaloka, aku akan menelanjangimu
kau seperti lenyapnya kubur leluhur
lumar di tanah, sendiri
Sumber: Lambung Padi (Asasupi, Bandung; Cetakan : I, Maret 2013)