Puisi: Seseorang Berdiri di Tepi Sajakmu – Ahmad Nurullah (l. 1964)

Ahmad Nurullah (l. 1964)
Seseorang Berdiri di Tepi Sajakmu

Seseorang berdiri di tepi sajakmu. Wajahnya sepi,
seperti sebuah kuil terpacak
di lereng bukit. Sepasang matanya kering,
seperti selongsong kulit laba-laba.
“Aku rindu kedamaian,” bisiknya.

Adakah ia seorang pertapa?

Ia tertegun: memandang kata-kata berbaris.
Atau menikung, seperti rel kereta api membelah
tanah desa. Atau berkeriap,
seperti lampu-lampu di tengah kota –
di sebuah negeri yang redup
Negeri yang jalan-jalannya berputar. Atau melintir,
seperti rambut sebuah suku tua yang telah punah.

Adakah di sana terbentang kedamaian,
seperti ia impikan?

Agak ragu ia melangkah. Masuk:
menyibak kata-kata.
Lalu, dengan terompah butut,
ia pergi keliling kota:
menyaksikan karnaval hari kemerdekaan. Atau
menonton sirkus. Atau ikut menyisip ke tengah
arak-arakan massa –
sejarah yang menuntut turun harga BBM,
atau kenaikan upah buruh.

Haus, ia minum air mancur di sebuah taman.
Lalu tertidur, sebelum dibangunkan oleh gerimis.
Dua ekor anjing menggigit ujung jubahnya –
sebuah peristiwa yang mendorongnya melompat
ke luar lagi dari sajakmu.

Di luar pagar, pada tapal batas antara
dunia dan kata-kata,
gonggong anjing masih bersahutan –
menyembulkan moncongnya dari sederet penanda.

Ia tersengal, menyapu peluh di keningnya, dan berbisik:
“Tak ada kedamaian,” Juga tidak dalam sajakmu.

Jakarta, 2003

 

Sumber: Setelah Hari Keenam (Cakra Books, Jakarta; 2011)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.