Riki Dhamparan Putra
Nanas palsu. Kota Bau-Bau menjelang pilkada
Kalau bersisik katakan ikan, berpayung katakan raja
Jangan kau bungkus dengan umpama
Sebab kalau kau sobek tapi tak menitik darah
Atau bila tampukmu patah tapi tak menitik getah
Siapa yang menanggung rahasianya
Tugu berlumut
Ataukah muka yang masam?
Aku juga heran kenapa pintu bandar
harus dijaga seekor naga
mengapa bukan ubur-ubur
Mengapa tidak membuat bantal untuk mengapung
di atas ombak yang tak pernah tidur
Mimpi pulang ke negeri asal
Melabuh pada terowongan-terowongan runtuh
berisi manyat aspal
penakar logam
kepingan gerabah
lembaran uang kain terselip di antara tumpukan silsilah
di loteng rumah
Silsilah palsu. Di dalamnya hanya ada satu singgasana kosong
Itu pun sebuah tiruan
Agar sesiapa yang duduk di atasnya
Tidak mangkir dari perjanjian yang disurat pada tulang manusia
Disahkan dengan sebuah cap biru dari kapal karam
yang diselamatkan dari perairan Kabaena
Bukan cap yang mengada-ada
Seratus tahun setelah tembok keraton dibangun
La Karambau yang gagah berusaha merebutnya
Tapi ia terusir
Pengikutnya diburu
Satu-satunya yang selamat hanyalah tempat lari
Tersembunyi di balik gua-gua keramat
di bukit Siontapina yang sunyi
Ke situlah sajak ini diantarkan
Orang-orang mendaki tanpa alas kaki
Pondok-pondok dibersihkan
Para tetua mengaruh
di rahim batu yang telah melahirkan raja-raja
dari sebatang bambu di kesunyian hutan
Sajak palsu. Kota Bau-Bau menjelang pilkada
Ratusan tahun lalu aku pernah tersesat
di tengah pesta yang sama
Ngibing semalam suntuk
Kendi perak penuh arak dituang
ke gelas tamu-tamu yang sudah oleng
karena mabuk
2012
Sumber: Kompas, 20 Oktober 2013