Rendra Bilang Sajak Sapardi Cengeng dan Tak Ada Disiplin Artistik!
Oleh Hasan Aspahani
Rendra dalam “Saya Punya Mental Juara”, wawancara dengan Hardi (Horison, November 1982), bilang, “… Saya kecewa, dengan sajaknya Sapardi Djoko Damono yang ditulis di Horison yang tentang burung ketembak… burung ketembak, yang kemudian dianggap sedih atau pilu, karena selembar bulunya gagal mencapai tepian atau air kali sehingga… itu apa? Itu kan cengeng itu, itu estetika apa? Tidak ada disiplin artistik. Sajak yang tanpa disiplin artistik semacam itu berlena-lena. Berdasarkan perasaan yang berlena-lena.”
Hardi tidak mengejar pernyataan itu. Ia bertanya soal lain. Sebagai pembaca saya agak kecewa. Saya membayangkan akan ada “perbantahan yang seru” setelah itu.
Karena Rendra dalam wawancara itu mengritik karya banyak nama, maka Horison Desember 1982 meminta pendapat mereka seorang per seorang, semacam hak jawab barangkali. Termasuk Sapardi. Wawancara dilakukan oleh Noorca Marendra Massardi.
Apa kata Sapardi? “Apa ini mesti dikomentari segala? Saya kira tidak perlu. Pokoknya tulis saja komentar saya ‘no comment’.”
Sajak yang dimaksud Rendra adalah “Tekukur”, yang bersama puisi lain “Benih”, “Di Atas Batu”, “Angin”, “Seruling”, “Telinga”,”Metamorfosis”, “Cermin, 2” dan “Perahu Kertas”, terbit Horison Juli tahun yang sama.
Sajak-sajak itu menandai satu perkembangan Sapardi berikutnya yang sudah ia mulai di Horison, September 1981, dengan sajak-sajak “Sudah Kutebak”, “Cermin”, “Pesta”, “Akulah Si Telaga”, “Kukirimkan Padamu”, “Hatiku Selembar Daun”.
Sajak-sajak itu terhimpun bersama sajak lain dalam buku Perahu Kertas (Pustaka Jaya – Fransiskus Wendoko mengingatkan yang benar adalah Balai Pustaka – , 1983). Buku puisi Sapardi yang ke-3, kalau kita menganggap buku keduanya adalah gabungan Akuarium dan Mata Pisau yang kemudian terbit sebagai Mata Pisau.
*
APA yang bisa kita pelajari dari pernyataan kecewa Rendra atas sajak Sapardi, dan diamnya Sapardi ketika diminta komentar atas kritik itu?
Salahkah Rendra yang menyatakan kecewa atas sajak Sapardi, dan menilai sajak itu tidak estetis dan ditulis tanpa disiplin artistik?
Apa yang dimaksud oleh Rendra sebagai disiplin artistik? Apa batas cengeng dan apakah kecengengan itu mematikan estetika?
Objektifkah Rendra ketika menilai sajak “Tekukur” itu? Yang mengecewakan Rendra adalah tema sajak itu atau cara mengucapkannya?
Mari kita lacak jejak-jejak perbedaan sikap kedua penyair itu terhadap puisi. Sikap estetis dan disiplin artistik keduanya berbeda.
Harus kita ingat bahwa Sapardi memasuki dunia puisi lewat keterpukauannya atas sajak-sajak dalam buku Rendra “Balada Orang Tercinta”.Ia membacanya sebagai seorang remaja SMA, 1958.
Penyair yang tinggal satu kota dengannya itu meyakinkan Sapardi bahwa ternyata menulis puisi bisa dengan bahasa yang lugas dan naratif, tidak dekoratif, tidak figuratif, seperti sajak-sajak lain ia baca di majalah sastra kala itu.
Lahirlah sajak-sajak Sapardi yang meniru Rendra, sajak-sajak balada yang lumayan berhasil jika ukurannya adalah dimuat di media. Dengan sajak-sajak ala Rendra itulah dia menembus Jassin, dan berbagai majalah sastra tahun-tahun awal 1960-an itu.
Tapi Sapardi tak puas. Ia terus mencari, membangun kekuatan, sikap estetis dan disiplin artistiknya sendiri. Ia terus bereksperimen, ia memilih, membangun suatu jalan dan gaya ucap sendiri, dan lahirlah sajak-sajak pada buku pertamanya DukaMu Abadi (1969).
Dalam sebuah esai yang ia sampaikan saat diskusi berbarengan dengan peluncuran buku pertamanya itu, sikap estetis dan disiplin artistik Sapardi jelas: puisi adalah suatu unikum, hasil pengamatan yang unik seorang penyair.
Keunikan itu, kata Sapardi, tak bisa tercapai kalau penyair hanya menyalin kata-kata yang bertebaran di sekelilingnya. “Tanpa menyesuaikannya dengan dunianya yang baru, yang unik.” Sajak-sajak protes sosial yang asal comot jargon dan menempelkanya dalam puisi adalah sajak lahir dengan cara itu.
Maka, tugas penyair terberat adalah melawan kata-kata, agar bisa menguasainya, kemudian memurnikannya, dan memberinya bobot. Dan itulah yang bisa kita simpulkan sebagai sikap estetis dan disiplin estetis Sapardi.
Makalah Sapardi “Puisi Indonesia Mutakhir: Beberapa Catatan” itu memang seperti tudingan yang berperkara dengan puisi banyak orang, termasuk puisi Rendra, dan kata Sapardi, juga dengan puisinya sendiri.
Sapardi pada tahun itu mengingatkan bahaya besar, tanpa kesadaran bahwa kata-kata adalah pendukung imaji dan penghubung intuisi penyair dengan pembaca, maka puisi menjadi dunia pidato, jargon, khotbah, petuah, dan gagasan-gagasan. Ia mengingatkan pada era penuh tekanan yang baru lewat yang menyisakan trauma bersama.(bersambung)