Oleh Maman S Mahayana
PRAKTIK kritik sastra pada hakikatnya merupakan tindak menilai (evaluation). Ia memulai dan mengakhiri kegiatannya dengan memberi penilaian. Ketika seseorang hendak menulis kritik sastra, misalnya, ia mengawalinya dengan melakukan pemilihan dan pemilahan, sebuah proses awal melakukan penilaian: apakah mendahulukan karya A, B, atau C, dan seterusnya. Jika ia memilih karya B, artinya, secara tersirat ia sudah menentukan pilihannya, bahwa karya B, lebih perlu, lebih penting, atau mendesak untuk didahulukan daripada karya yang lain. Lalu, ketika ia mengakhiri menulis kritiknya, secara tersirat pula, ia beranggapan bahwa tulisannya tentang kritik sastra terhadap karya B, cukup sampai di situ. Jika kemudian ternyata masih perlu ada kelanjutannya, itu perkara lain lagi.
Begitulah praktik kritik sastra: memulai dan mengakhirnya dengan penilaian. Tampaknya mudah dan sederhana. Seolah-olah begitu gampang: ambil sebuah karya (sastra), lalu lakukan penilaian, selesailah tugas menjalankan praktik kritik sastra.
Dalam kenyataannya, menulis kritik sastra tidaklah sesederhana itu. Menulis kritik sastra menuntut banyak hal: selain referensi sebagai sumber rujukan, juga kejernihan berpikir dan kematangan dalam mengendalikan emosi. Seorang kritikus seyogianya dilandasi kedewasaan bersikap, adil dalam bertindak, objektif, komprehensif, holistik, tak serampangan, dan tak melakukan pencomotan penggalan atau bagian karya sastra yang lalu diperlakukan mewakili keseluruhan. Segenap sikap itu sepenuhnya didasari semangat apresiatif, memberi penghargaan atas karya, dan bukan sebaliknya, yaitu meniatkan diri menguliti, mencincang, mendedahkan segala kelemahan, dan didorong oleh rasa benci dan kemarahan yang membuncah. Ringkasnya, jika punya kebencian pada satu hal di luar perkara keilmuan, janganlah hendaknya kebencian itu ditumpahkan dan ditimpakan pada karya yang tak bersalah. Jika itu yang terjadi, ia terjerembab bukan membuat kritik sastra, melainkan mengumbar syahwat mencaci-maki. Cuma orang yang punya problem psikologis saja yang menimpakan kemarahannya secara tidak proporsional.
Sikap apresiatif dalam memperlakukan karya sastra itu juga semata-mata mesti didasari oleh objektivitas, nilai karya itu sendiri, dan bukan oleh faktor lain di luar teks. Selain itu, penulis kritik (sastra) tidak sepatutnya melandasi sikapnya atas dasar suka atau tidak suka. Lebih celaka lagi jika sikapnya dalam menilai karya sastra, lantaran pengarangnya sudah memberi segepok uang. Nah, jika itu yang terjadi, ia tak pantas menyandang atau menyebut diri sebagai kritikus. Ia lebih tepat disebut seolah-olah kritikus, padahal harga dirinya tak beda dengan pelacur, penjual idealisme, golongan orang-orangan (bukan manusia) yang rendah yang bersikap macam tempe bacem, sayur lodeh, atau botok oncom. Ia sama busuknya dengan pejabat negara yang korup, yang atas nama peraturan dan hukum, melahap uang suap. Orang semacam itu cenderung garang pada karya pengarang yang tak memberi uang, meskipun kegarangannya sekadar usaha mencari sensasi. Tetapi, manakala ia berhadapan dengan karya si pemberi uang, seketika ia lunak, lembek, dan letoy. Yang mencuat ke permukaan adalah puja-puji lebay dan gombal, hiperbolis dan berbusa-busa, meski kualitas karya itu termasuk kategori ecek-ecek. Idealismenya sebatas jumlah uang. Jika orang macam begitu digadang-gadang, maka tak tahu lagi kita, seberapa rendah idealisme dan kualitas para penggembiranya. Semoga ada kata atau istilah lain yang lebih baik dari kosa kata kebun binatang, isi toilet, dan ihwal penyemarak isi comberan untuk menyebut orang-orang macam itu.
***
Tujuan kritik sastra adalah membangun kehidupan kesusastraan yang (lebih) sehat dan bermartabat. Ia bertugas mengungkapkan kekayaan teks, mendedahkan kelebihannya, dan mendorong agar pembaca tertarik mendalami karya sastra yang dijadikan objek kritik itu. Jika dalam kenyataannya ada karya yang dipandang lebih banyak kelemahannya daripada kelebihannya, sebaiknya karya itu tidak dijadikan objek kritik. Biarlah karya itu menjalani kehidupannya sendiri. Tetapi, jika ia tetap memaksakan diri melakukan kritik pada karya yang sesungguhnya sangat bermasalah, hasil kritiknya akan jatuh pada dua kemungkinan: (1) kritik itu menjelma caci-maki dan sekadar menjadi sasaran syahwat kebencian, atau (2) sengaja menghabisi karya itu untuk menghasilkan efek sensasi.
Sebaliknya, jika karya yang sangat bermasalah itu ternyata mendapat pujian setinggi langit—karena boleh jadi sudah memperoleh seonggok amplop, maka kritiknya tidak berbeda dengan bentuk kebohongan publik, sebab ia tidak bertindak jujur, cenderung menjilat, dan sekadar abs (asal bapak senang) atau sib (semoga ibu bahagia), atau sedikitnya sit (semoga ibu traktir). Jika di sana ada pameran teori-teori canggih, teori itu sekadar alat melegitimasi kebohongannya, seperti para pengacara uud (ujung-ujungnya duit), pasal-pasal digunakan sebagai alat berkilah, berkelit, dan tafsir menurut kepentingannya sendiri.
Meskipun sudah sangat jelas, bahwa tujuan kritik sastra untuk membangun kehidupan kesusastraan secara (lebih) sehat dan bermartabat, dalam sejarah panjang perjalanan kritik sastra, ada saja orang yang tak paham pada tujuan ideal kritik sastra itu. Ketidakpahaman itu boleh jadi dilatarbelakangi oleh beberapa faktor berikut ini:
1. Semangat mengumbar sensasi. Segelintir orang yang punya problem psikologis kadang kala mpo (minta perhatian orang). Dengan berbagai cara, ia akan melakukan tindakan-tindakan nyeleneh, agar orang mau memperhatikannya. Jika ada satu-dua orang yang memuji tindakan penyelenehannya itu, seketika kepalanya akan membengkak, dadanya membusung, hidungnya kembang-kempis, seolah-olah puja-puji segelintir orang itu, mewakili seisi jagat raya. Padahal, tindakannya itu sekadar sensasi belaka atau mendompleng nama besar untuk mencari popularitas.
2. Kebencian pada tokoh-tokoh mapan yang tak kunjung memberinya legitimasi, stempel atau pengakuan atas kritik yang dibuatnya. Sastrawan atau tokoh-tokoh yang sudah mapan reputasinya, sebenarnya bukanlah pemberi legitimasi atau stempel atas reputasi seseorang. Yang mempunyai hak untuk melabeli seseorang sebagai penyair, kritikus, cerpenis, novelis, atau sastrawan, tidak lain adalah publik sastra sendiri.
Surat kabar dan majalah adalah wahana untuk melakukan pembuktian kemampuan dan sekaligus kualitas karyanya. Di sana, dalam sistem manajemen surat kabar dan majalah, ada redaktur budaya, ada sidang redaksi, dan ada pertimbangan kepentingan publik. Jika ada puisi, esai atau cerpen yang dimuat surat kabar atau majalah, maka karya itu sudah melewati proses penyeleksian yang ketat. Jadi, batu uji pantas tidaknya seseorang dilabeli penyair, kritikus, cerpenis, novelis atau sastrawan, ya lewat proses seleksi di media massa itu.
Jika permainannya cuma seputar di grup facebook, WA, atau di blog pribadi, ia tidak lebih sekadar onani. Ia membesarkan dirinya sendiri lewat angan-angan dan bayangannya sendiri. Klaim dirinya sebagai sastrawan atau kritikus, belum teruji oleh publik yang lebih luas; tidak melewati proses seleksi yang ketat sebagaimana yang terjadi di surat kabar atau majalah.
Bagaimana mungkin publik sastra melabeli seseorang dengan predikat penyair atau apa pun, jika karyanya cuma satu-dua, lalu selebihnya muncul di sosial media yang bebas dimasuki apa pun tanpa seleksi.
3. Kebanyakan para penggembira sastra di media sosial, terutama mereka yang doyan membubuhkan tanda jempol atau ekspresi dalam satu kata: Mantap! Oke, keren, sip, hebat, lanjut, dan seterusnya adalah jenis orang yang sumber rujukannya cukup berdasarkan “konon kabarnya”. Meskipun tidak tahu duduk perkaranya, tiba-tiba saja dia nyelonong dan berkomentar: Mantap! Orang-orang semacam itu mudah terbuai oleh pameran kata-kata asing dan nama-nama beken. Jika ada teori dimunculkan, orang-orang itu makin kagum, meskipun teori itu sudah kedaluwarsa. Kebiasaan mengandalkan sumber “konon kabarnya” ini memudahkan seseorang untuk ngapusi. Maka, ketika muncul jenis kritik ngawur sekalipun, orang-orang itu sudah kadung terlalu jauh tersesat. Ketersesatan para penggembira itulah yang kerap dimanfaatkan oleh orang yang tak kunjung mendapat legitimasi publik dalam kehidupan di luar dunia maya. Mereka yang tak mendapat tempat dalam kehidupan sosial, dan terutama yang kerap gagal dalam persaingan di media cetak, seperti mendapat saluran pemuas syahwat di media sosial.
4. Lazimnya manusia, bermain dengan sesuatu yang dianggapnya baru, dan permainan itu mengasyikkan, ia cenderung hanyut dibetot oleh keasyikan itu. Dalam dunia akademik, misalnya, ketika ia bertemu dengan sebuah teori, meski teori itu sebenarnya kedaluwarsa, ia cenderung tergoda untuk memamerkan teori itu. Mungkin ia membayangkan dirinya Archimedes yang lari telanjang bulat sambil berteriak: “Eureka! Eureka!” (“Sudah kutemukan! Sudah kutemukan!”). Seorang mualaf yang baru memasuki bidang tertentu, cenderung melakukan hal yang sama ketika ia berjumpa dengan teori atau ilmu “baru”.
Dalam kritik sastra, sebutlah seseorang baru berjumpa dengan pemikiran de Saussure. Bagi mahasiswa sastra, gagasan de Saussure tentang tanda, penanda, dan petanda, dipelajari di semester satu dengan nama mata kuliah “Pengantar Linguistik Umum”. Tetapi, bagi seseorang yang baru memasuki bidang kritik sastra, gagasan itu seolah-olah baru, karena ternyata itu berkaitan dengan semiologi atau semiotik, salah satu pendekatan dalam ilmu sastra. Nah, ini dia. Lalu (mungkin) terbayanglah sosok Archimedes. Berteriaklah ia tentang semotik, agar para penggembira itu mengikuti jejaknya. Padahal, ilmu itu kini sudah banyak ditinggalkan para ahli sastra.
Begitulah, seorang mualaf kerap ingin menunjukkan dirinya sudah tak mualaf lagi. Seperti bocah yang ingin disebut remaja, atau remaja yang merasa diri sudah dewasa, tindakannya cenderung seperti lalat dalam gelas! Ketika ada gerakan kecil, air dalam gelas itu dipandangnya sebagai gelombang ombak di lautan.
Mungkin masih ada faktor lain yang menunjukkan, bahwa kritiknya atas karya (sastra) sebenarnya merepresentasikan ketidakpahamannya pada tujuan kritik sastra. Namanya saja kritik sastra (criticism) yang berasal dari kata krites yang bagi masyarakat Yunani kuno berarti hakim. Kata kerjanya krinein ‘menghakimi’ yang lalu melahirkan kata kriterion yang bermakna sebagai dasar penghakiman. Sejak abad ke-4 sebelum Masehi, sudah dikenal juga kata ‘kritikos’ untuk menyebut seseorang yang bertugas sebagai hakim karya sastra.
Begitulah, tugas kritikus itu sebagai hakim (karya sastra). Filosofi yang harus jadi dasar setiap tindakan dan keputusannya adalah adil dan keadilan. Objektif dan proporsional. Jujur dan bijaksana, matang dalam bertindak dan santun dalam bertutur sapa. Semangatnya, menjunjung martabat kemanusiaan dan marwah kebudayaan.
Sebagai ‘hakim’ sastra, seorang kritikus tidak boleh berat sebelah. Ia juga harus terbebas dari perkara suap-menyuap. Bagaimana mungkin dia menjalankan tugas mulianya sebagai kritikus (sastra)—hakim— jika filosofinya kebencian dan karya sastra diperlakukan sebagai tumbal kemarahan? Bagaimana mungkin dia berbuat adil dan berimbang jika tindak berpikirnya didasari oleh problem psikologis dirinya sendiri? Bagaimana mungkin dia dapat membangun kehidupan kesusastraan secara (lebih) sehat dan bermartabat, jika tindakannya mengingatkan saya pada Muhammad Akil Mochtar dan Patrialis Akbar?
Wallahualam.