Puisi: 1984 – Edwin Anugerah Pradana

Edwin Anugerah Pradana
1984

I
“Mengapa kita tak jujur, Winston?”
Julia seperti bertanya
dari arah dipan
dengan nyeri di
negeri yang maklum.

Mereka tata berahi, di ruangan itu.


II
Sementara di luar,
kota memasang dua sayap
bendera partai
dalam sebongkah lahan yang penuh
tapi mati.

Ada yang mati
yang mati,
yang jujur


III

Lewat jendela, matahari
mengincar sepasang
pemberontak dengan
wajah dop itu.

Ada kalanya, mereka
istirahat dari
takut di kerumunan.

Derit dipan,
samar bohlam,
suara yang dijemput anak-anak tangga.

IV

Tapi berahi, mereka susun,
dari langkah-langkah
para prol dan apek desa.

Cinta yang diiringi
seorang penunggu
dengan mimik bernuansa
museum–seorang pria dengan
senyum lokal.

Cinta yang mereka lelehkan
di tubuh bom dan trauma.

V

Ia ulang itu, pintu yang menggambar
warna-warna tentara. Takut yang tumbuh
dan mengencangkan gempa
di udara mereka berdua.

VI

Ungu, atau biru, warna pejalan
dari jauh mereka tebak
sedang menggusah lapar
di bintang mati.

Kini mereka makin takut.
Kini trauma menusuk.
Kini, desah mereka
adalah bayang-bayang
bom dan parit-parit Oceania.


VII

“Mengapa kita tak jujur, Julia,
pada mata tuhan
yang palsu, juga
kepada batukku yang
lembab saat kita
bersentuhan pada ritus pertama?”

VIII

Winston bayangkan itu, sesaat
sebelum waktu mencegahnya
dari malam yang putih, dari
hari yang terpasang
di frasa sabotase.

IX

Lalu nama kita tak dieja lagi.

“Mari kita selesaikan
cinta ini, mabuk ini, takut ini
dengan lenguh yang sirene
dan nafas yang patuh.”

Sebab mereka, tak bisa mengeja lagi.

2020

Sumber: Kibuli.in, 27 November 2020.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *