Puisi: Di Pesisir -Edwin Anugerah Pradana

Edwin Anugerah Pradana
Di Pesisir

“Aku tak dingin.”
Ia seperti berbisik, sedikit tersenyum.
Gadis itu tak bicara banyak setelah dusun kosong
dan sepi seperti tiba dari zaman pertama.

“Siapa yang kau kenang?”
“Mungkin tak ada. Atau mungkin ibu, mungkin juga rumah yang hangat.”

Selepas bertanya, pria muda itu berhenti. Menunduk.
Ia, sebenarnya, tak terkejut.
Ia coba bayangkan perahu
dan warnanya yang tak menyatu
di pantul sinar pada laut.

“Lalu mengapa kita tak menebak…” tawar si gadis
“…apa yang datang setelah ini?”
“Aku tak tahu,” jawab pria terpotong. Ia ragu, lalu melanjutkan:
“kukira satu yang akan datang: waktu pagi.”

Memang benar, di pukul dua, ada ombak terdengar di hadapan, tapi tak penting.
Ini hampir subuh. Dan mereka seolah
menjadi pasangan—yang juga tak penting.

Tapi mereka tak sadar.
Mereka lupa: pada kekasihnya masing-masing.

“Kita tebak gambar pasir.”
Pesisir gelap. Tapi mereka tak berhenti berandai.
“Ada gambar ibumu, di sana, juga rumahmu.”
“Kau salah. Keduanya tak di sana,…”

Kali ini pria itu agak terkejut, ia salah.
Di tepian, ia pelan-pelan sadar, ada yang tak ia pahami.

“tapi keduanya di sana,” gadis itu menunjuk laut. Pungkasnya:
“di ombak yang kadang tenang, tapi sering kali deras (seperti angan).”

Rokoknya disulut, pria itu—dan gadis itu— tak
saling memandang.
Ada yang mereka tanyakan
di batin masing-masing
tentang nama yang sama pendek
dan potong-potong waktu (yang juga sama).

“Aku tahu! Sekarang, waktumu menebak.”
Meski tak berucap, sebenarnya mereka tahu.
Sebenarnya mereka sama-sama setuju.
Tapi bersamaan, mereka memikirkan hal lain:

Ibu dan rumahnya.
Nasib yang tak tampak.
Dan satu lagi yang sama: kekasihnya masing-masing.

2020

Sumber: Kibuli.in, 27 November 2020.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *