Puisi: Kain 2 – Cyprian Bitin Berek (l. 1970)

Cyprianus Bitin Berek (l. 1970)

Kain 2

Apakah sulitnya menukar gandum terbaik
demi tambun domba seekor?
Dengan bebal diciptakan aturan sendiri
lantas memaksa Tuhan menerimanya.

-Wahai! Lelaki berhati batu!
Tak usah berjalan di luar pakem.
Ada yang perlu dipatuhi kendati tak mengerti.
Lantaran perintahNya tuk dijalani hanya.
Terlalu langit jalanNya di atas khayalmu.
Terlalu jauh pandangNya daripada rabunmu.
Kini akar sebatang tumbuh di hati
merambatkan salur-salur
dengan umbi pahit jahat dan licik-
akar gatal yang menghasut;

-Lelaki malang, nista segala jijik
telah ditolak korbannya di muka adik sendiri.
Lihatlah sumringah wajah Habel
menoleh sekilas sebelum pulang
Perih tenggorokan tertelan bara!
Perih mata tersiram cuka!
Ejekan itu! Aib itu! Tertakik laksana rajah.
Tipis. Terhapus tidak.
Tetap rahasiakah penolakan ini
sedangkan lidah, betapa liar ditundukkan?
Lalu senyum itu, oh senyum Habel
benih tertawaan keturunan demi keturunan.

+ Cukup sudah, cukup untuk diakhiri.
Benih busuk perlu dimatikan.
tawa sumbang wajib dibungkam
sekali dan selamanya.

= Kain, mengapa bara hatimu dan pekat wajahmu?
Apakah tak akan berseri mukamu
bila engkau berbuat baik?
Tetapi bila engkau tidak berbuat baik,
di depan pintu sudah mengintip dosa,
sangat menggoda ia,
tetapi harus berkuasa engkau atasnya.

Aduh sayat kulit dikelupas.
Aduh rintih luka dipercik jeruk.
Alangkah gelegar teguran itu,
alangkah berat malu ditanggung
bagai pias wajah dara disingkap gaunnya.

+ Habel! Habel! Sumber segala petaka.
Sejak semula engkau yang lebih selalu.
Takkan lagi berseri aku
lantaran magma hati hanguskan tubuh.
Terlanjur diriku ditolak, terlanjur banjir benci ini.
Bila sungai perlu muara, kesumat perlu dituntaskan.
Oh, betapa menggoda rayuan dosa
betapa tercium nikmat aroma.
Ya, ya, jangan coba larang aku
kurenangi kini samudera dosa
dan terlelap bius kuatnya.

Angin kesiur tujuh arah, terbawa pesan tak sedap.
Dalam muslihat paling hitam dan pukulan teramat ahli
Habel meregang di padang, ditatap
domba-domba merumput.
Gemetar tanah memeluk tubunya dingin.
Raungan darahnya mencabik langit.
Kain terpaku Dia membunuh adiknya.

Makassar, 17 April 2013

Sumber: Kompas, Minggu, 16 Juni 2013.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *