Bode Riswandi
Banyak yang bercerita lewat angin, semacam dingin
Atau isyarat yang licin. Sepi serupa kembang muda
Yang tumbuh di ranting rahasia. Kuncup ia satu-satu
Lalu jatuh ke dasar tanah. Musim bisa cepat berganti
Di sini, tetapi kabut lebih cepat bertelur di barak ini
Jadi bayangan yang remah di rumput, atau jadi rindu
Yang dipahat di bangku katedral yang berlumut
Aku tak dapat melihatmu melambai dari jendela barak
Atau membaca bayanganmu dari serambi dan geladak
Aku cukup mengimbangi isyarat lain, membayangkan
Sebutir mata sipit dari segala arah membalut teriakan
Yang memanggil-manggil dari lubuk sejarah
Banyak yang bernyanyi di sini, semacam bunyi-bunyian
Juga siulan. Gerimis yang tiba kebetulan, serba bau aspal
Yang mengerak di jalan jadi bagian riwayat kemalangan
Tahun-tahun banyak terlewatkan. Hujan dan angin runtuh
Saling bersahutan. Kesepian tumbuh di plafon, senyapnya
Merambat pada akar pohon. Aku mendengar seruan pelesit
Di balik daun kamboja, suara-suara sepi yang dipantulkan
Angin di ujung gapura. Siapakah kamu?
Siapakah kamu? Aku bertanya pada dinding waktu
Pada keloneng genta yang ditarik seorang pendeta
Pada katedral dan barak-barak yang renta. Tak satupun
Jawaban datang kecuali gema suaraku yang terdengar
Nyaring berulang-ulang, kecuali bayang wajah-wajah
Pendatang dengan dada dan kakinya yang telanjang
Banyak yang mengintai di sini, angka-angka di nisan
Adalah misteri tersendiri. Dan bulu-bulu ilalang yang
Terhempas ke bumi adalah gema paling keras di sini
Aku hanya menunggumu datang menunjuk satu arah
Jalan pulang
2009
Sumber: Mendaki Kantung Matamu (Ultimus, Bandung, 2010)