Djamil Suherman (1924-1985)
Lagu Tanah Air
I.
Kami yang lahir di sini lahirlah penyair dengan cinta
dan harapannya
oleh air matari dan angin gunung
Kami yang besar di sini datanglah musafir dengan hati
dan impiannya
oleh pasir laut sepanjang musim
Tanah ibu berbukit-bukit
lembah hijau danau bening
pantulan segala cahya di pagi hening
Kami mukim di sini di segala musim
membajak sawah di musim basah
mengetam padi – datangkah ia senja nanti?
o, mengemis selalu padiku dirangkum biru langit
bila kemarau datang pergilah kalian ke balik bukit
bertanam ubi, bertegal jagung memetik buah palam
di senja mendatang tiuplah suling o, gembalaku sayang
hiba hatiku rindu nelayan kampung halaman
rindu petualang kekasih tak pulang
o, angin lembah duta sekalian yang menunggu
bersilir dengan suara merisik
menguasai lembah dan hati
Kami yang merenung di sini mencium senja di pasang laut
melepas pandang, kembangkan layar lautnya hijau
kemerdekaanlah nyanyi kami berelung tangis
antara kelam duka hati malam gerimis
merekam segala peristiwa dukacita siang malam
cinta kami sepi
sepi kami rindu
kamilah itu, bapa kami nelayan tua berkulit coklat
ibu kami perawan jaya piala kasih dan airmata
kamilah itu, yang kini tahu rahasia seberang
dibaliklah kelam cinta kami sedang berkembang
II.
buat Kirdjomuljo
Kami yang sebagian dari bumi dan air
membuat musim musim kehidupan kami
dengan tanahliat, asap dan cinta
mengembangkan tangan lantang berseru:
datanglah kalian ke humaku
ke danau kami kerajaan embun
kami tumbuhkan segala tumbuhan untukmu
cinta dan harapan – gembala kami adalah ia
penghalau kemiskinan dan dosa
datanglah ke musim kami penuh setia
karena kami sebagian dari ibu kami
perawan jaya piala kasih dan airmata
III.
Kami, kamilah itu yang jalan gontai di bawah angin
bila gelap tiba dan udara jadi dingin
malamnya lagu kelu udara kelam menyelimut
melindungi anak kami hangat, membuat api
mengharap segera pagi tiba bercahya kuning
mencari kehidupan
Kamilah itu yang jalan gontai di tepi tanggul
bila musim hujan tiba membasah tanah mandul
membendung air, tegal, kolam sawah dan perigi
berbenam lumpur, sebarkan benih buat siapa yang tiba
datanglah hasratmu padanya
Kamilah itu yang semalam menantang angin
dengan lampu di tangan kembangkan layar lautan pasang
musim ikan adalah punya kami
Kami, kamilah itu yang jalan atas matari dan kembang malam
rumah kami bambu, tanah liat, di latar penuh melati
kami bertembang tiap sore lagu lagu keabadian
mengirim sesaji di laut dan di tikung jalan
untuk kami, datu-datu, lesung keramaian kampung halaman.
IV
buat T.S. Bachtiar
Damailah tanahair
mancurlah mataair
membasmi kehidupan
Kemerdekaanlah maka laut, penyair dan harapan
mengembang di danau hati ungu warnanya
rindulah aku kepadanya
Kemerdekaanlah maka laut, lagu dan kenangan
mambang di hikau kolam putih hatinya
hadirlah aku karenanya
Kemerdekaanlah maka laut, tanahair dan kehidupan
matilah aku kesepian
Sumber: Kisah, No.2 Th. IV, Februari 1956 lewat Tonggak 1 (Gramedia, 1987)