Puisi: Mitomania – Warih Wisatsana (l. 1965)

Warih Wisatsana (l. 1965)
Mitomania

Yang paling jenaka adalah diriku
setiap petang mengunjungi semua orang
membayangkan mereka sebagai dinding
atau selembar cermin berbagi murung

Mereka merasa pangeran budiman
samaran rubah gunung yang lembut hati
Seakan sungguh dalam diriku
tersembunyi boneka kikuk terkasih
sepenuh hari ingin dilindungi dan dicintai

Berkali kukisahkan tupai sebatang kara
tertidur bahagia di pohon tua tepi belantara
dalam naungan rasi bintang cemerlang

  yang tak pernah ingkar janji

mengelilingi bumi seratus tahun sekali

Bila mereka mulai sanksi akan ceritaku
seketika kutanyakan teka-teki ini
Mengapa di segala cermin sekalian dinding
selalu berlapis bayang
tak dapat diterka wujud rupa sebenarnya?

Sungguhkah rubah yang sesat di pedusunan
akan jinak oleh belas kasih dan uluran kebaikan
seturut dongeng ibu yang dulu berkali dituturkan?

Mungkin mereka ragu atau bahkan haru
terkenang masa kanak berlimpah sukacita

melamunkan hari tua tak bahagia

Berpura memahami betapa setiap wajah
menyimpan wajah lain, muslihat atau siasat
tak lebih permainan jerat
tali temali nasib dan peruntungan

        yang datang berulang

Tapi sungguhkah kita tak menyadari
kawan sepenanggungan setiap hari
mengandaikan diri

        seekor ikan kecil
       dalam botol kecil

hanya kuasa mengibaskan ekor sesekali

Yang paling jenaka adalah aku
setiap petang mendatangi cermin dan dinding
merasa bahwa wajah semua orang
tak lebih si culas nan cerdas

Ataukah si cerdik tak hendak licik, berlapis tipis
dalam remang pandang dalam samar bayang
Serupa tupai dan rubah bersembunyi dalam diri.

Sumber: Borobudurwriters.id, 13 Januari 2021.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *