Toni Lesmana (l. 1976)
Pasar Satwa
berjumpa jerapah di sebuah pasar panjang
dan sepi. jerapah itu mengayuh becak. lehernya
terjulur jauh, tersangkut di matahari, asyik mengunyah
daun-daun api. ada asap tumbuh di punggungnya
sepasang sayap asap yang mengembang seperti kabut,
mengepak dan menghamburkan abu hutan kenangan.
“bagaimana kabar ayah dan ibu?” jerit jerapah, matanya
mendelik sebab leher yang terus memanjang itu mulai
melilit langit. jerapah yang rakus itu terus saja menjerit
seperti sirene polisi, sedang kakinya tak henti
mengayuh becak yang mulai melayang-layang
seperti layangan putus. aih, sepasang monyet
berbulu pelangi duduk dalam becak itu. tersenyum
“bagaimana kabar kakek dan nenek?” sapa mereka
sambil menampung abu dengan mulut yang mirip
mangkuk labu. mirip sepasang sumur kerinduan
penuh bulu. mirip kami, sepasang lapar yang terus
memanggil sebab segala sembab di pasar panjang
dan sepi. pasar yang bergerak seperti rasa lapar
“naiklah, jangan malu-malu! kemon! ada ayah dan ibu
di mana-mana.” mulut jerapah masih menjerit-jerit
di langit, sayap kabutnya terus mengepak. abu hutan
abu gunung. abu sungai. abu laut. berhamburan
ditampung mulut sepasang monyet yang terus membesar
“melompatlah, kakek dan nenek menunggu di mana-mana.”
sepasang monyet menyemburkan pelangi ke mana-mana
pelangi yang meledak menjadi beragam satwa warna-warni
jutaan satwa berdesakan di udara. becak melayang, kami
bergelantungan memegang ekor jerapah. melayang-layang
mengelilingi pasar yang mulai mirip blankar panjang
mirip keranda panjang yang terus bergerak. jongko-jongko
kosong mengingatkan kami pada jajaran kuburan
kuburan untuk ayah. kuburan untuk ibu. kuburan untuk
kakek. kuburan untuk nenek. kuburan untuk kami sendiri
2017
Sumber: Basabasi.co, 15 Januari 2019.