Puisi: Sajak-sajak Asap – Amarzan Ismail Hamid

Amarzan Ismail Hamid

inilah hikayat tujuh belas tahun
rindu dendam hutan mambang
hutan kiambang hutan sialang
hutan api tak pernah padam
alang kepalang

lesah tanah perawan tak
kijang di mata air tak
embun di pucuk daun tak
anak dara berkain basah tak
kecipak kecipung meningkah dendang tak
puah kanan puah kiri
orang langit berladang api

hilang rimbun hilang embun
hilang teratak beratap sirap
hilang sejuk air di dulang
hilang pucuk tempat berjuntai
anak siamang

hendak ke mana mencari akar
mencari umbut pangkal silsilah
akan ke mana mencari hulu
mencari jejak moyang dahulu
ingin ke mana mencari tasik
mencari lubuk bertudung jerabu

hanya api
semata api

tuah di Tuan mala di kami
terkepung kota dalam asap
tersekap nyawa dalam pengap
terbengap nasib dalam senyap

sejak hutan dilipat dalam kenangan
rimba berubah barang jualan
musnah nian tempat bermain
tempat bermanja tinggal ingatan

*

tujuh belas sudah berbilang tahun
dan Engkau tak kunjung pulang
Aku menghitung bulan menghitung hari
menghitung kesumat tak terdamaikan

sajadah tua di tanduk berkarat
senapang locok tergantung mati
Engkau mara tiada bersurat
kutunggu hari meninggi hari

kemudian perang saudara itu
melaknat mimpi dan janji – hanya asap
antara bukit kerontang dan hutan terbakar
mereka ke sini, dengan lembing dan parang berkibar
tapi hanya tinggal abu
tinggal debu
negeri penuh bayang maut

bangkai di tiang-tiang kota
bangkai di hilir dan kuala sungai
bangkai dalam tidurku
dan Engkau tak kunjung pulang
tinggal jejak samar di pasir pantai

*

mereka menyembelih perempuan itu
di tepi sungai
di atas tangkahan
tempat kita dulu bersimbur air dan limau
– menjelang Ramadan

langit menggigil
burung layang-layang mandi
berebutan pulang
ke rimba ilalang
ke bukit-bukit menjulang padang hembalang

ia menatap ufuk – menanti fajar
menyusukan bayi perempuannya lima tahunan:
“negeri ini akan dikutuk
karena kalian telah menghalalkan darah
dan darah tak pernah berdusta”

kami menanti suratmu
dari musim ke musim berganti
menanti negeri yang Engkau janjikan
dalam asap dalam setiap denting kelewang

dan ketika Aku naik
ke pelaminan berjenjang itu
hanya namamu
dalam deru badai deru bidai
tak kunjung damai

kawan-kawanmu tak lagi di sini
mereka berangkat – sebelum ajal sampai
jukung dan bargas yang membawa mereka
terlipat dalam kabut
dalam haribaan maut
tinggal cerita panjang dusun yang sangsai

*

tak ada lagi bau hutan
setelah pohon terakhir mereka tebang
tak ada lagi harum tanah
rimba yang basah oleh lebat hujan

tinggal tunggul
rawa dan lubuk yang gundul
tinggal ratap
bukit dan lembah yang dulu latap
tinggal senyap

hanya api
semata api

Armawi, kota ini sudah lama mati
sejak perang terakhir mereka lupakan
sejak pasukan penghabisan
terkepung badai lumpur dan senapang
tak lagi bisa dikokang

di sana mereka terkubur
bersama jahanam dendam yang kita tulis
tak pernah redam

empat puluh empat lasykar terakhir
tak pernah pulang
berserak di antara puing
dan batu nisan
negeri yang hilang

*

Aku mendengarmu bangkit
dari lempit-lempit lubuk
biru tasik jalan bersimpang
hutan karet di pasar miring
hingga kuburan cina batu sembilan

tapi hanya suara
hanya sisa darah di ujung kuala
ratap yang menderu bagai badai
tarombo yang terputus
silsilah yang pupus

ratusan purnama sudah
sejak Kami tak lagi menatap cakrawala
tapi riwayat itu mendekam di sana
bagai geram harimau jantan tertikam sula
negeri yang durhaka

setelah itu hanya asap
semata asap

*

September 2015

Sumber: Kompas, 29 November 2015

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.