Tia Setiadi (l. 1980)
Sajak untuk Sajak
Karena Arjuna bisa memanah dalam gelap
maka penyair tua itu pun mencoba menulis sajak dalam gelap
Ratusan jagat raya dan galaksi datang dan pergi dalam rasi angannya.
namun ia kesulitan menuliskannya, sebab kegelapan memiliki bahasanya sendiri
Tangannya gemetar menyusun huruf-huruf untuk mengisahkan pengalamannya yang kaya
Namun huruf-huruf itu menampiknya, dan bersikeras mengisahkan dirinya sendiri, sekehendaknya.
Maka penyair tua itu menyerah: ia biarkan suara-suara lain bicara
Suara yang merupakan miliknya sekaligus bukan miliknya, suara yang didengarnya
sekaligus tak didengarnya.
Saat sajak itu selesai menuliskan dirinya, hasilnya sama sekali tak sesuai harapan si penyair tua:
Sajak itu bukan sajak tentang dirinya, tapi sajak tentang sajak, bukan sajak untuk dirinya, tapi sajak untuk sajak.
Rahasia dan makna kata-katanya tak bisa tersingkap dalam ruang dan waktu manusia
melainkan hanya membukakan diri dalam ruang dan waktu kata-kata itu sendiri
Huruf-hurufnya seperti ratusan lembar cermin yang saling berhadapan dan berpantulan:
lambang menafsirkan lambang, umpama berkaca pada umpama.
Bila sajak itu ditempatkan di taman, maka sejenak kemudian taman itu akan berubah:
sajak itu akan menyusun ulang komposisi pohonnya, memangkas rumput-rumput liarnya,
menjernihkan air mancurnya.
Bila sajak itu ditempatkan di langit, maka sejenak kemudian langit pun akan berubah:
Sajak itu akan menggubah warna dan bentuk-bentuk mega, menata ulang bintang-bintang, menyulih arah peredaran planet-planet
Di tempatkan di mana pun, sajak itu selalu mengubah segalanya menjadi ciptaan baru
Maka gunung, laut, dan langit menjadi gunung, laut dan langit yang lain
Hijau menjadi hijau yang lain, biru menjadi biru yang lain.
Tiba-tiba penyair tua itu menyadari, bahwa ia sudah sampai pada batas tepi mimpinya:
Puluhan tahun ia menulis aneka sajak untuk menyaingi Tuhan, namun baru sajak inilah
yang berhasil
Kini, dalam gelap, parasnya tampak bercahaya bak paras seorang bayi yang terberkati
Jasad tuanya terbaring di samping sajak terakhirnya, agung dan sendiri,
Seakan-akan sebuah perahu yang telah angkat sauh
dari tepian pantai di jam larut malam, untuk kemudian menghilang nun di jauhan.
Sumber: Basabasi.co, 5 Mei 2015.