Dadang Ari Murtono
empat puluh hari kemudian, di puing kuil,
ia saksikan padma itu,
merekah dan merah
– ia mengira itulah yang disaksikan kanjeng nabi
dalam malam mi’raj, dua atau tiga depa dari aras allah –
“tambangraras,” ia bergumam
di tepi pulau
pohon kelapa, kucila, dan manggis liar,
terus menjatuhkan buah
yang segera menjelma ikan
begitu menyentuh permukaan laut
ia tahu, itulah laut yang gelombangnya
menghantam rakit lima bilah bambunya
menghantarnya pada ambang maut
di mana ia saksikan kelahirannya sebagai si bakal mati
bersama jayengsari, bersama rancangkapti
dan ia menangis
ia hanya ingin menangis
tapi airmatanya bukan lagi airmatanya,
melainkan airmata semua orang
yang terluka, yang terpisah, yang berduka
yang tak hendak berpisah dengan duka
tapi kini, telah ia lepas itu semua,
dan ia terima sebagai nasib
hanya nasib
menjelang fajar
lamat-lamat sebuah kapal merapat
ia tahu ia akan kembali berlayar
Sumber: Koran Tempo, 22 – 23 Juli 2017