Didik Siswantono (l. 1968)
Siola
Siola, silam yang menghamba getar-getar ke-
nangan, lalu ditinggalkan. Sebuah toko, loteng
jingga bunga-bunga dan teh pahit kaki lima, me-
nyisakan nama lama yang telanjur dikenali. La-
lu kita dihadang kehilangan saat kunjungan, saat
kenang telanjur membasah di Tunjungan.
Sejengkal dari Sari Agung, kita terbiasa
menuju tikungan akhir, di mana pintu kayu
Siola dipancangkan, muara masa kecil yang
riang. Buku matematika biasanya kita letak-
kan, mencari topi perang-perangan. Pecah
tawa menjelang senja.
Kunjungan terakhir itu, barangkali Siola terla-
lu mengalah kepada ambisi modernisasi, atau
kepada basa-basi kaum berdasi. Bentuknya
menyusut pelan, menghilang ke liang yang da-
lam. Tinggal peta buta, titip gelap jejakmu di
Surabaya. Lalu, kita, nyeri tak terperi.
2015
Sumber: Jawa Pos, 25 Oktober 2015