Puisi: Ular dan Penyair – Sitok Srengenge (l. 1965)

Sitok Srengenge (l. 1965)
Ular dan Penyair

Di Taman Edan, aku bersua sesosok kata terpuruk mabuk di pojok kalimat jorok. Rambut gimbal akar gantung beringin tua, pakaian kumal sarang kepinding dan kecoa, mulut busuk comberan mampat, tubuh gembrot burik berborok

Kusapa ia dengan cinta. Mata bara menjelang padam, kerjap binal bintang zohal. Kutawari ia mandi, pakaian bersih-rapi, sebotol minyak wangi. Siapa tahu kelak, ketika nasib tak lagi congkak, seorang penyair yang sedang cari inspirasi memungutnya sebagai anak asuh dan memberinya rumah dalam puisi yang teduh

Aku ingin kau mampus, ia mendengus ketus. Bau mulutnya alkohol kakilima. Lidah bercabang, kata-kata terucap sumbang. Kudengar ia kentut, udara pun semaput. Lalu ia muntah, menumpahkan bangkai kawan-kawannya sendiri yang ia telan sembari masturbasi

Tak ada sajak cukup kupijak, ia berlagak. Aku terlalu besar. Aku bukan kata sekadar. Segala sesuatu bermula dariku. Aku penyebab penyair lahir. Firmanku suci, perintahku dipatuhi para nabi. Penyair tak lebih dari pendusta nyinyir, bertualang dari remang ke temaram, tanpa kitab keabadian. Aku kutuk mereka: mendamba cahaya, didera derita

Mungkin saat itu tuhan pulas di selembar daun apel yang lepas. Angin berdesir, muncul si penyair. Rambut tersisir klimis, dandanan necis. Sambil mengelap ujung sepatu ia ucap salam rindu kepadaku. Kata- katanya terdengar lain, sesahdu irama latin. Aku terpukau, dalam dirinya bebukit hijau, bentang kebun kakao, kemilau danau

Sambil menimang apel malang, si penyair bilang: Aku sedang menyusun ulang kata-kata yang sengaja tak diucapkan Adam kepada Eva, tentang Lilith istri pertamanya. Kelak akan gamblang, mengapa dunia dipenuhi para pecundang. Mereka pencemburu yang tak doyan mengunyah sajak, lebih gemar memburu dan mengenyah orang bijak, bersenjata pedang dusta

Kata busuk yang terpuruk mabuk di pojok kalimat jorok itu seketika kuyu. Ia beringsut kecut, melata pergi, lalu lesap ke kobar api, jauh di luar sajak ini

2007

Sumber: Kompas, 2008.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *