50 Puisi Cinta Terbaik Versi Lokomoteks (2017)

Sajak Cinta, Syair yang akan Mewaktu

Oleh Dedy Tri Riyadi
Masinis LOKOMOTEKS

Semula niat kami adalah menyusun daftar ini lewat apa yang kami sebut Pemilihan Umum Sajak Cinta Indonesia. Kami berharap pembaca sebanyak-banyaknya mengusulkan masing-masing lima sajak cinta terbaik versi mereka masing-masing. Dari usulan-usulan itu kami akan menyusun 100 sajak untuk dipilih 25 sajak terbaik, juga oleh pembaca.  Ternyata hasilnya kurang memuaskan kami. Banyak sajak yang tak terjaring. Maka kami pun membuat daftar sendiri, tentu saja lewat perdebatan yang menghabiskan begelas-gelas kopi. Kenapa kami membuat daftar ini? Baca pengantar kami di tautan ini. Inilah 50 Sajak Cinta Terbaik Bag. 1 (klik tautan pada judul untuk membaca puisi) pilihan kami. Selamat bercinta, eh selamat menikmati dan jatuh cinta lagi.


1.   Sebab Dikau (1936)  – Amir Hamzah

Kasihkan hidup sebab dikau. Bait pertama seakan menjanjikan sajak cinta rayu-rayuan belaka. Tapi sepanjang sajak kemudian, Amir Hamzah membuka jalan sajaknya ke banyak cabang permenungan dan pemaknaan, hingga berakhir pada bait tentang kesadaran diri yang hanya makhluk terbatas daya di hadapan sang Dalang: aku boneka engkau boneka, penyenang dalang mengarak sajak. Ambigu antara pasrah dan protes (atau curcol?) dengan bahasa halus nan samar.


2.   Harum Rambutmu (1936) – Amir Hamzah

Chairil Anwar adalah pengagum bagaimana cara Amir Hamzah mengolah bahasa dalam sajaknya. Sajak ini mungkin salah satu yang dicuri dan diolah Chairil.  Kita menemukan frasa itu di sajak Chairil “Sajak Putih”.  Sajak tentang pencarian, kerinduan, simbolisme yang kini mungkin terasa bersahaja. Tapi, Amir Hamzah sang Raja Pujangga itu benar-benar telah membawa stilistika itu ke puncaknya, menyelesaikannya dan seakan tak menyisakan peluang lagi untuk melakukan hal yang sama.


3.   Barangkali (1936) – Amir Hamzah

Yang besar terangkum dunia / Kecil terlindungi alis. Ini sajak cinta yang nyaris sampai pada tingkatan magis. Ya, memang dia bicara soal “engkau yang lena dalam hatiku”.   Tapi coba kita rasakan bait akhir ini: Mari menari dara asmara / Biar terdengar swara swarna / Barangkali mati di pantai hati / Gelombang kenang membanting diri.  Suara warna?  Imaji auditif dan imaji visual ditabrakkan cukup dengan frasa sesederhana itu. Hati adalah pantai yang jika cinta mati di situ, gelombang kenangan tetap akan menghempas, membantingkan diri di sana, tak pernah selesai.


4. Tak Sepadan (1943) – Chairil Anwar

Ini sajak mau bilang kita bukan pasangan yang cocok. Cinta sudah dicoba. Tapi tak punya harapan untuk dilanjutkan. Ini cara Chairil mengucapkan cinta yang harus berakhir. Lugas tegas: Jadi baik kita padami / Unggunan api ini.   Sebab ia telah meramalkan bentuk hubungan itu nanti: Kau kawin, beranak dan berbahagia / Sedang aku mengembara serupa Ahasveros. 


5. Sia-sia (1943) – Chairil Anwar

Cinta yang tak terpahami.  Perasaan yang tak bisa bertemu.  Kekasih yang egois.  Sajak yang menghasilkan kutipan yang abadi: Ah! Hatiku yang tak mamu memberi / Mampus kau dikoyak-koyak sepi. Mencintai, bukan hanya menerima dari satu pihak, tapi juga memberi dengan ikhlas. Tanpa itu ya mampuslah kau!


6.    Sajak Putih (1944) – Chairil Anwar

Ini cara lain Chairil bilang jargon klasik tentang hasrat membangun hubungan cinta abadi:  hingga maut memisahkan kita, dengan kalimat dan makna khas: antara kita maut datang tidak membelah. Setelah didahului hidup dari hidupku pintu terbuka. Murung tapi indah dan syahdu. Rapuh tapi terbukti abadi.


7.    Senja di Pelabuhan Kecil (1946) – Chairil Anwar

Kehadiran cinta justru terasa kuat ketika cinta tak ada. Kali ini tak ada yang mencari cinta, tulis Chairil di larik pertama. Mencari cinta? Lantas rasa kehilangan dibeberkan lewat imaji alam, laut, pelabuhan, tali kapal, pantai. Banyak diksi dan frasa cemerlang memperkuat sajak ini.


8.  Cintaku Jauh di Pulau (1946) – Chairil Anwar

Tentang cinta yang harus diakhiri. Dan kekasih yang tak terjangkau lagi.  Kuncinya ada pada bait: Amboi!  Jalan sudah bertahun kutempuh!  / Perahu yang bersama ‘kan merapuh! / Mengapa Ajal memanggil dulu / Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!  /  Patah hati, di tangan Chairil bisa menjadi indah dan sama sekali jauh dari cengeng.


9. Gadis Kecil Kehilangan Jepit ( 1951) – Mh. Rustandi Kartakusuma

Cinta yang bersih dan murni terasa di sajak ini.  Cinta yang wajar belaka, sewajar gadis yang kehilangan jepit rambut dan lalu membiarkan rambutnya jatuh poni.  Mungkin karena imaji yang dibangun menyaran ke sana.  Tapi mencintai, bagi lelaki berarti adalah ambil tindakan. Dan itu berarti keberanian.  Lelaki yang mencintai adalah lelaki yang berani yang pandai menjadikan hidup ini rentetan kilat yang tiada diseling gelap.


10.   Dia dan Aku  (1953)Sitor Situmorang

Bagi Sitor Situmorang, cinta tak lepas dari kealpaan dan janji. Sesuatu yang dibangun tak sengaja tapi justru dituju dengan pasti. Bahkan cinta adalah sesuatu yang penuh dengan aturan tak tertulis, pantangan, kehati-hatian, dan tentunya rahasia.


11.   Surat Cinta (1961)  – W.S. Rendra

Wahai, dik Narti, kupinang kau menjadi istriku!  Untuk mengucapkan ini, Rendra  menggubah sajak sederhana tapi padat, meruap juga aroma surealisme di sajak ini, sebab ia mengkolokasikan tiga hal: selingkung alam dengan unggas, angin dan malaikat, ketika hujan; kegembiraan natural anak-anak yang bermain, dan perumpamaan putri duyung yang terjaring untuk dimiliki sang penyair-penjaring itu.  Melamar calon istri pakai sajak? Dengan sajak ini Rendra telah menetapkan standarnya. Dan standar itu tinggi sekali, Bung!


12.   Tembang Kasmaran (1966) – D. Zawawi Imron

Sajak dengan keakraban penghayatan pada alam memang Zawawi salah satu maestronya. Juga dalam sajak cinta ini. Bahkan adat mengusung mempelai pun ia hadirkan. Tema lokal? Tak relevan lagi, karena bagi Zawawi itulah semesta sajaknya. Namun semesta itu adalah juga personanya. Misalnya, wujud dari khayal dan harapan bagi Zawawi adalah sambal dan sarapan.


13.   Semerbak Mayang (1966) – D. Zawawi Imron

D. Zawawi Imron adalah penyair dengan imajinasi yang tertib. Seliar apapun ia bisa menatanya. Gejolak emosi, pernyataan tentang gebu cinta, ia wujudkan dalam perumpamaan yang mudah kita kenali itu milik dia. Suasana arkadian bahkan hadir dalam bait: anak kita berdua, ketika kaupangku dia aku menciumnya.. Aduhai!


14. Kafetaria Sabtu Pagi (1966 ) – Taufik Ismail

Dengan tipografi yang terpenggal-penggal, kosong, sepi amat terasa di sajak ini. Sebuah dunia oleng dalam sepi. Hanya oleng, tidak terguncang. Hanya sepi, dan semua diberangkatkan atau dilantarkan oleh rasa rindu yang dibangkitkan oleh suasana sebuah kafe, Sabtu pagi. Yang dituntut dari seorang penyair untuk menulis sajak – yang tampaknya sederhana dan mudah – seperti ini adalah kecermatan, kejelian, kepekaan.  Dan itu bukan soal yang sederhana dan mudah.


15.  Ketika Jari-Jari Bunga Terbuka (1968) Sapardi Djoko Damono

Betapa sengit cinta kita. Betapa parah cinta. Namun kesengitan dan keparahan itu justru diuraikan dengan hal-hal sederhana: bunga mekar (yang dalam sajak ini diucapkan dengan imajinasi yang bikin cemburu ketika jari-jari bunga terbuka), sayap kupu-kupu, ranting cuaca, bulu cahaya. Dan bunga rekah yang menjerit. Wow!


16.    Kepada Perempuan yang Sedang Tidur (1969) – Saini KM

Cinta yang tak dimengerti tapi dicemburui? Berpisah, masih berdekapan, tapi seorang diri mengembara di seberang batas tidur-nyenyakmu? Ambiguitas, paradoks, nyaris sempurna di sajak Saini KM ini. Ini yang bikin sajak ini sangat kuat. Tabrakan-tabrakan imajinya seakan bikin cahaya-cahaya kata selalu memercikkan cahaya.


17.    Selain Cahaya Matamu (1969) – Saini KM

Kata kawanku di larik ke-9 atau larik pertama bait ke-3 agak mengganggu. Namun kami tak bisa menolak bahwa ini adalah sajak cinta yang kuat. Bicara soal hubungan dua orang yang saling memahami dan saling membutuhkan pada keakraban tingkat tinggi.


18.    Kau yang Tidak Menangis (1970) – Ajip Rosidi

Cinta dan rindu yang diakibatkannya lalu tangis adalah urusan personal. Menangislah tapi tak akan ada yang peduli. Di sini kekuatan sajak Ajip Rosidi, hanya seorang kekasih yang peduli pada tangis kekasihnya: nama yang bahkan tertulis di dinding luar kubur, dan maut yang tak bisa memisahkan. Tekad mencintai yang klise, tapi cara ucap sajak ini cerlang-cemerlang.


19.    Bayang-Bayang (1972) – Ajip Rosidi

Cinta yang tak pernah sampai. Semacam korban PHP, pemberi harapan palsu. Kekasih yang tak terpegang, yang selalu datang hanya sebagai bayang-bayang, tapi selalu mengikuti langkah dan tak pernah hilang. Cinta atau benci, akhirnya sama saja. Hanya penanda bahwa seseorang itu pernah ada. Pernah punya makna.


20.    Pada Sebuah Pantai: Interlude (1973) – Goenawan Mohamad

Kesadaran tentang puisi sebagai medium pengucapan dan itu juga digunakan sebagai bahan pengucapan membuat sajak ini tidak ada duanya. Tapi ini terjadi dalam sebuah sajak yang sentimentil. Dan itulah soalnya. Apa yang mau diucapkan di dalam sajak itu adalah hal biasa yang kalau disajakkan hanya akan menjadi sajak yang cengeng. Dan masalahnya sajak itu tak bisa untuk tidak dituliskan juga. Ketika ditulis jadinya bukanlah sebuah sajak yang cengeng. Masalah selesai, dan itulah masalahnya.


21.  Kau Begitu Sawo Mateng, Cintaku! (1973) – Asrul Sani

Asrul Sani ingin katakan cinta bisa tumbuh bukan karena seseorang itu begitu istimewanya. Orang yang dijatuh-cintai itu, bisa sama belaka dengan kita, dan itu boleh dan bisa membuat kita jatuh cinta. Tak perlu ada asalan yang dicari-cari. Sesuatu yang biasa saja, kesawo-matangan kulit itu misalnya, bisa jadi alasan.  Penolakan-penolakan juga tak ada artinya bagi cinta yang kuat.  Jadi, terimalah cinta yang bersungguh-sungguh seperti itu. “Jangan suruh aku minta diri…”


22. Malam Pengantin (1973) – Sutardji Calzoum Bachri

Jika malam pengantin adalah puncak atau awal dari perjalanan cinta yang sebenarnya maka sepasang kekasih harus menanggung kecewa.  Sebab mereka adalah dalam kepungan norma yang tak membiarkan mereka bebas bercinta berdua saja. Ada ribuan biji mata, daun pintu penipu, dan lubang kunci mengintip hati. Ini sajak cinta dengan sudut pandang yang lain, cara ucap yang juga sangat lain, sangat Sutardji.


23. Larut Malam, Hamburg Musim Panas (1974) –  Abdul Hadi WM

Ketika dilanda renjana cinta lupakan filsafat. Lupakan permenungan atas makna kehidupan. Cinta itu sendiri adalah kehidupan. Cinta itu sendiri adalah filsafat yang diterapkan.  Ketika jatuh cinta, engkau menjadi imajinatif, tidak menjadi arif.  Awak gerbong Lokomoteks Sofyan RH Zaid, pernah membacakan sajak ini di hadapan sang penyair, ketika ulangtahunnya dirayakan. Dan reaksi sang penyair rasanya membuat kami yakin dengan apa yang kami simpulkan di atas.


24 Keroncong Motinggo (1975) – Subagio Sastrowardoyo

Terasa banal, tapi Subagio tampaknya memang ingin mengucapkan dengan banalitas itu di sajak ini. Di sajak lain ia bisa menyuling ucapannya dengan sabar dan mencapai kemurnian yang lain. Tapi tetap saja ia tak bisa tak menyisipkan bahan-bahan permenungan tentang hubungan lelaki perempuan, tentang hakikat waktu, hidup dan tentu saja maut.


25  Pembakaran (1975) – Ramadhan KH

Melambung semacam ode, pemujaan pada kekasih.  Lirih seperti himne, bisikan pada kekasih. Panas seakan romansa: kedua molek tanganmu, dan aku mesra dibalur madu.  Mencintai adalah kesediaan untuk mengabdi. Kesiapan untuk bekerja keras.  Dan kerindun untuk menikmati paduan cinta itu sendiri.


26.    Perahu (1976) Abdul Hadi WM

Ada rasa Chairil dengan garapan yang lebih rumit, subtil, dan lebih sufistik. Tentu saja Abdul Hadi WM berpijak pada gayanya sendiri. Maut dan cinta itu dekat. Yang sakral dan yang profan bisa berjarak hanya selapis kulit bawang.  Sajak ini adalah satu sajak yang dengan piawai bermain-main di antara kedua hal itu.


27.    Pamflet Cinta (1978) – W.S. Rendra

Rasa kangen dioplos dengan protes sosial. Strategi estetis Rendra nan tak ada duanya. Cinta yang personal dibumbui pengamatan sosial. Bukan kepadatan ucapan yang dikejar tapi kelantangan teriakan. Dan kita ikhlas dan menikmati ketika mendengarkannya, juga mendapatkan pencerahan.


28.    Dengan Engkau (1979) – D. Zawawi Imron

D. Zawawi Imron jarang menulis sajak cinta jika yang dibayangkan adalah cinta dua insan yang berkasih-kasihan. Sajak ini kami temukan di antara kelangkaan itu. Religiositas adalah napas dalam sajak-sajak Zawawi, itu yang bikin sajak cinta ini jadi kuat, dan sangat sublim.


29. Hari dan Hara (1982) – Subagio Sastrowardoyo

Tugas kita hanya mengalami, tanpa berkata-kata. Tapi mungkin diam-diam membayangkan macam-macam, termasuk menjadi anjing setia yang menjaga kemanusiaanmu. Subagio di sajak ini seperti mempertahankan dan membuktikan salah satu teorinya bahwa puisi adalah suara-suara dari alam bawah sadar.


Kerinduan yang dirasakan seseorang akan menghidupkan benda-benda yang ada di sekitarnya. Namun begitu, kerinduan tetap terasa. Kerinduan adalah sesuatu yang memang harus disandang seseorang dalam mewujudkan cintanya. Linus dalam sajak ini menunjukkan kelihaian seorang penyair yang sangat tertib menjaga rima dan metrum di dalam sajak sekaligus diksinya begitu pas dan kena. Ya, begitulah seharusnya penyair mengerjakan sajaknya.


31. Jangan Lupa, Kekasihku (1988) – Wiji Thukul

Awak gerbong Lokomoteks, Muhammad Sadli, dilanda de javu di hadapan sajak ini. Ia pernah tinggal di Solo dan tahu benar selokan, rumah di pinggir selokan yang disebut Wiji Thukul di sajak ini. Ia kerap mengintip latihan teater di sana. Ini membuktikan satu hal: untuk menulis sajak cinta ini, Thukul benar-benar beranjak dari realitas yang ada di sekitar dia.


32.    Dalam Doaku (1989) – Sapardi Djoko Damono

Kunci kekuatan sajak ini ada pada bait akhirnya; aku mencintaimu, itu sebabnya aku tak pernah berhenti mendoakan keselamatanmu. Bait-bait panjang sebelumnya dengan citraan yang menyaran pada lima waktu sembahyang seakan mengantar dan memperkuat tohokan makna di bait akhir itu.


33.    Aku Ingin (1989) – Sapardi Djoko Damono

Sederhana tapi mewah. Tampak mudah tapi sesungguhnya maha sulit. Mencintai dengan sederhana, kata Sapardi dalam sajak ini, adalah cara mencintai yang paling tidak sederhana. Cinta seperti ibadah, puncaknya justru pada ikhlas, tak harap balas, bahkan rela menjadi tak ada.


34.    Hiroshima, Cintaku (1990) – Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad selalu jeli. Kali ini masuk atau membawa ke luar sebuah puisi lewat pintu masuk film. Tanpa menonton film itu pun ini adalah sajak yang asoi-geboi. Pemahaman atau pengetahuan atas filmnya bisa jadi bumbu penambah nikmat. Percakapan soal sejarah dijuktaposisi dengan degup gugup dua hati sepasang kekasih yang tahu cinta mereka sebenarnya rapuh.


35. Cinta (1991) – Abdul Hadi WM

Cinta adalah pencerahan. Ini versi lain dari tafsir atas cinta yang ingin disampaikan Abdul Hadi WM.  Keinginan yang begitu kuat untuk menangkap cahaya. Karena itu cinta yang disembunyikan dalam sunyi itu pecah, dan yang tersembunyi pun menjelma.  Apakah cinta memang harus dikatakan? Kata adalah jembatan, tapi yang mempertemukan adalah kalbu yang saling memandang.


36.  Sajak Cinta Ditulis pada Usia 57 (1992)  – W.S. Rendra

Kali ini Rendra meningkatkan level permenungannya mencapai filsafat sosial. Namun tetap dengan kejahilan seorang penyair yang menikmati masa tua sambil mengenang dan mempertahankan semangat keremajaannya. Hakikat cinta, sajak, dengan kata lain hakikat kehidupan terangkum dalam sajak ini.


37. Rumah Bertangga Lumut (1994) – Irmansyah

Ini sajak tentang cinta yang ragu. Padahal sudah saling menerima. Cuma selangkah lagi di depan rumah.  Tapi tangga itu lumut.  Licin dan menggelincirkan. Metafora yang mudah diikuti. Cinta yang nyaris mati, tapi tiba-tiba hidup lagi, tapi begitu sulit untuk ditumbuh-kembangkan kembali.


38.   Pada Album Miguel Covarrubias (1996) – Goenawan Mohamad

Siapa Covarrubias? Jose Miguel Covarrubias adalah seorang pelukis, karikaturis, ilmuwan etnis (ethnologist) dan sejarawan seni yang menulis buku The Island of Bali di tahun 1937 dan itu yang bikin Bali mendunia. Nah, nama itu yang menjadi bingkai sajak cinta Goenawan Mohamad kali ini. Sebagaimana sajak cinta manapun yang diucapkan selalu itu-itu saja. Cara ucap itu yang akhirnya membuat khas dan berbeda.


39. Baju Loak Sobek Pundaknya (1996) – Wiji Thukul

Tersebab rindu dalam pelariannya, Thukul menulis sajak cinta yang tidak ada duanya. Ia menulis tentang baju loak yang ia beli untuk istrinya.  Dan baju itu robek pundaknya. Ia akan beli jarum untuk menjahit robekan itu. Tapi ia tak berani mengantarkan sendiri baju itu, takut ditangkap. Ia dalam pelarian. Ia buronan.


40.    Menjadi Penyair Lagi (1996)  – Acep Zamzam Noor

Cinta seperti apa yang bahkan setelah berpisah justru tumbuh menjadi tekad yang kuat dan tak mau salah? Acep Zamzam Noor menuliskan justru keterpisahan adalah upaya yang benar untuk mengingat dan memperbaiki diri agar cinta itu tumbuh kian besar


41. Pernyataan Cinta (1998) – Acep Zamzam Noor

Seperti antitesa dari Rendra, Acep Zamzam Noor di sajak ini menggunakan sajak cinta untuk mengungkapkan kritik sosial. Bagi kami ini tetap saja sebuah sajak cinta yang kuat. Bicara tentang kekasih yang tahu benar bahwa kekasihnya sedang berantakan, dan dia tak punya apa-apa, tapi dia ingin menyelamatkannya.


42. Lirisme Buah Apel yang Jatuh ke Bumi (1999) – Aslan Abidin

Aslan di sajak ini benar-benar pencuri ulung. Ia mencuri dari khazanah pengetahuan semua orang.  Siapa yang tak tahu soal bagaimana Newton menemukan teori gravitas? Soal apel yang jatuh? Dan Aslan mengunakan itu untuk mengucapkan cinta yang putus: “Suatu saat kelak, seusai lelaki lain menikmati gravitasi di / atas tubuhmu, maukah kau mengenang buah apel yang jatuh ke bumi?” Begitu memang seharusnya penyair bekerja.


43. Walennae (2001) – Aslan Abidin

Aslan Abidin merangkum banyak muara di sajak ini. Terasa seperti versi Bugis dari Priangan Si Jelita. Juga ada aroma Madura dari Zawawi dengan racikan yang sama sekali baru. Aslan tentu saja tetap menjadi Aslan. Sajak-sajak cinta Aslan – khususnya sajak ini – seperti seorang pria yang berkata pada wanitanya secara lugas, namun menebas.


44.  Malam Pertama (2003) – Joko Pinurbo

Ibarat plot kisah yang penuh belokan, begitulah tabiat sajak-sajak panjang  Joko Pinurbo. Judul, bait-bait awal, alur sajak yang seakan membawa ke satu konklusi, tapi kemudian dibelokkan ke hal yang sama sekali tak terduga, lalu seluruh tubuh sajak menjadi satu dunia pemaknaan yang utuh.  Kini aku harus menidurimu,…tubuhmu makin cerdas dan berbahaya.  Siapakah kamu?


45. Kau Angin (1991) – Sitok Srengenge

Sajak Sitok selalu datang seperti hembus angin yang sedap. Apapun yang disentuh oleh angin itu seperti jadi ikut berlagu. Kita terbuai, antara ingin memejamkan mata karena ingin menghayati lebih takzim tapi tetap ingin membuka mata karena tak mau kehilangan pemandangan imaji visual yang memukau.


46.    Episode Terakhir dari Kenangan (2006)  – Cecep Syamsul Hari

Kenapa sih kekuatan sajak itu seringkali hadir di bait akhir? Mungkin karena itu semacam jurus pamungkas dari sebuah pertarungan silat yang memikat, gerak terakhir yang bikin pembaca merasa tertohok lalu tumbang. Sajak ini adalah sejenis sajak yang seperti itu. Dan cinta, disapa dengan ribuan nama.


47.    Molto Allegro (2006) – Cecep Syamsul Hari

Sungguhkah kau lelah menjadi lelaki? Kecengengan yang bisa dimaklumi, kerapuhan yang mengundang simpati. Sajak tentang patah hati dan ketakberdayaan yang direfleksikan ke dalam lanskap sebuah kota yang akrab. Cecep Syamsul Hari memang jagonya bikin sajak begini. Ini salah satu hasil terbaiknya.


48. Ke Manakah Tujuan Kita, Cintaku  (2007) – Leon Agusta

Sajak tentang pengembara yang lelah.  Kenangan datang, kenangan dipenggal jagal.  Ia sudah jauh berjalan. Tapi hidup seringkali berujung pada ketakpastian. Ke manakah tujuan kita, Cintaku?  Masih ada cinta itu. Kepada cinta itulah sedikit arti hidup digantungkan.


49.  Pada Bulan Sabit Tubuhmu (2009)Agus R. Sardjono

Diksi dalam sajak ini begitu bombastis. Namun, begitu bukan seharusnya sajak cinta? Mulai dari tubuh yang serupa bulan sabit, tendangan cerlang mata, demonstrasi yel-yel percumbuan, sampai pada ranjang yang menjelma jadi telepon pemanggil nama kekasih hati. Namun puncaknya, semua itu justru tak bisa dibaca dan ditulis. Kerinduan itu akan kalis jika cinta sudah mewujud, meskipun itu hanya dengan mendengar dengkur halusnya.


50.    Romantic Agony (2011) – Acep Zamzam Noor

Cinta bisa membawa pada hal buruk, kehancuran, kejatuhan. Bahkan keikhlasan untuk pelan-pelan menuju dan mempersiapkan kematian. Mencintai adalah menerima kepedihan dengan ikhlas. Acep Zamzam Noor itu selalu begitu; romantis tapi religius, atau sebaliknya religius tapi romantis.


“Kalau penyair dari Pujangga Baru jatuh cinta, maka yang dilakukannya ialah membuat sajak tentang bunga mawar; kalau kami jatuh cinta, maka kami ajak si gadis ke restoran Baltic minum es krim!” – ChairilAnwar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *